Thursday, December 08, 2005

Masjid Al Akbar - Grandness Symbolism and Memories Within

Tiga tahun yang lalu, secara sekilas di tiap perjalanan melewati lingkar Waru (flyover 4 jalur yang membentuk formasi daun semanggi, atau waru dalam bahasa Jawa) yang terkenal di Surabaya, ada suatu debat yang konyol antara gue dan temen-temen gue. Ada masjid di kejauhan yang tampak hanya dome-nya..."apakah itu hijau atau biru". Suatu debat yang subjektif sekali karena warna-nya nanggung banget kaya' warna air laut yang berisi algae. Hijau kebiru-biruan (atau biru kehijauan...?). Yang jelas, dari "perselisihan" itu mulai dibuka satu dialog antara sebuah objek arsitektur berupa masjid dengan apresiator-nya. Pengalaman yang menarik dan selalu dikenang dari masa lalu.

Itu adalah sepenggal memori dari masa lalu tentang sebuah mesjid. Tempat ibadah yang diberi nama Al-Akbar ini sungguh-sungguh menjadi yang paling gede dalam artian harfiah (ternyata) dengan titel sebagai masjid terbesar di Asia Tenggara (tau dari iklan mi instan). Gw ngga pernah kepikir aslinya, kalo objek yang dome-nya menjadi pangkal debat itu segitu besarnya. It was big, I knew it...but never thought to be "that" big. Dibangun tahun 1999 (peresmiannya) dan berlokasi di wilayah pinggir kota Surabaya. Secara perletakan yang berada di tengah-tengah lingkungan permukiman, bikin mesjid ini memang terlihat "grandeur". Apalagi "kebesaran"-nya juga bisa diakses dari mobilitas, baik yang melalui jalan raya maupun rel kereta.

Bulan November 2005, di suatu Sabtu pagi gue "iseng" mencoba ke masjid tersebut. Kompleks masjid tepatnya, karena area seputar-nya juga extremely vast. Kaya' kawasan sebuah stadion yang juga memiliki area void luas. Mungkin kaya' kawasan Manahan kalo di Solo atau Senayan di Jakarta. Ruang-ruang kosong yang ada di seputar masjid juga berperan mendorong aktivitas-aktivitas publik. Ruang-ruang yang notabene adalah halaman masjid itu menjadi lahan olahraga, jualan, nongkrong dan cucimata seperti halnya ruang-ruang publik lain. Ini sekaligus sedikit mengikis ide-ide fungsionalisasi ruang-ruang artifisial. Secara naluriah, aktivitas manusia selalu muncul dalam ruang-ruang yang memiliki keterkaitan posesivitas dengan masing-masing. Dalam kajian arsitektur masjid yang berkembang, ruang-ruang kosong di sekitar masjid sengaja dibuat untuk menyediakan ruang apresiasi mental sebelum memasuki rumah Allah (konon). Ada juga yang berteori bahwa hal itu semata adapasi dari sistem tata ruang di kokta-kota kuno Timur Tengah di mana masjid itu sejatinya adalah urban square yang dipake untuk "bersujud". Sehingga dari sejak jaman Nabi, masjid selalu bisa berperan sebagai pusat aktivitas. Oleh karena itu, masjid-masjid (agung) kota (lama) di Indonesia biasanya punya ruang void yang lumayan luas (biasanya di depan), atau bahkan dalam kosmologi Jawa juga diterapkan dengan meletakkan masjid dalam konstelasi empat paket pada sebuah alun-alun.

Menara
Kembali ke Masjid Al Akbar, segala sesuatunya memang "akbar" di sini. Menara yang juga merupakan "paket" dari bangunan-bangunan masjid juga dibangun dalam skala yang mengikuti kebesaran bangunan lain, meski secara fungsional bisa sedikit diperdebatkan. Menara masjid muncul dalam pemahaman yang sedikit misintepretasi. Banyak yang mengemukakan teori bahwa menara masjid awalnya muncul sebagai minaret yang dipakai muazin untuk menyerukan azan. Tapi gue lebih condong ke teori yang menyatakan kalo bangunan menara (yang terpisah) itu sebetulnya diambil dari tipologi bangunan benteng sebagai mekanisme pengawasan, yang kemudian diadopsi arsitektur byzantium sebagai "aksesoris" bangunan istana atau gereja. Tetapi saat ini menara tampak sebagai aksesori wajib dari bangunan masjid. Begitu juga dengan dome. Pada arsitektur masjid Al Akbar, dome menjadi elemen utama. Dengan bentuk bawang, dome yang ternyata mosaik dari keramik berwarna hijau ganggang dan biru laut (yang sekaligus menjelaskan tentang jawaban "perselisihan" warna di atas - pen) ini menjadi identitas utama dari Masjid Al Akbar. Dome pada masjid juga muncul dari arsitektur byzantium. Dulunya berkembang dari kreativitas tektonis bangsa romawi dengan menciptakan lengkung yang dimodifikasi. Dome ini juga menjadi salah satu lambang arsitektur mesjid di Indonesia, termasuk masjid Al Akbar yang menggunakan atap bawang-nya sebagai simbol utama. Paradigma yang mulai dikikis oleh arsitek masjid kontemporer Indonesia, Ahmad Noe'man, dengan rancangan bangunan masjid Salman di ITB dan beberapa masjid lain.

Kubah
Sayang, gue ngga sempet lagi mengeksplor ke dalam masjid secara detail. Cuman ngeliat di seputaran luar aja, yang banyak didomonasi oleh sudut-sudut tajam menandakan bangunan yang kaku dan persegi. Seperti halnya agama yang tegas (ini mungkin alibi dari arsitek-arsitek masjid, hehe). Dan juga ornamentasi yang "timur tengah"-ism. Suatu pemakaian konsep yang juga menjadi imitasi belaka, karena esensinya tidak pernah diatur secara khusus dalam kriteria "masjid". Kemudian masuk sedikit ke dalam, di teras masjid, sebelum masuk ke bagian dalam. Terdapat kolam besar yang penuh dengan selang, ternyata merupakan sebuah kolam air mancur dalam keadaan mati. Di depannya (ah ini orientasi yang relatif sekali) terdapat ruang antara yang mengantarkan kita ke dalam masjid. Pengaruh kubah yang demikian besar terhadap tampilan eksterior ternyata juga memberi efek yang serupa dengan interior-nya. Ruang yang terbentuk tepat di bawah kubah memberikan skala yang luar biasa terhadap ke-akbar-an masjid ini. Menandakan kecilnya manusia di hadapan Tuhan, mungkin lagi-lagi ini konsep yang dipake oleh arsitek-nya. Yang jelas, perbandingan skala itu telah membentuk suatu spiritualitas ruang artifisial yang cukup berhasil dalam keadaan masjid kosong. Gue ngebayangin duduk itikaf di sana pada malam Ramadan, tentu akan sangat menggetarkan. So silly, itikaf di masjid "biasa" aja belom pernah...

Superimposisi
Menakjubkan memang, dari waktu ke waktu tentang bagaimana simbolisme mengatur bangunan-bangunan yang dibuat oleh manusia. Kembali ke jaman purba, simbolisme pertama berupa tetenger dari era megalit mungkin berupa menhir. Makin tinggi menhir, makin bergengsi pula orang yang dikubur di dalamnya (menhir berfungsi sebagai pusara). Kemudian ke jaman peradaban, tentu masih inget menara-menara babel. Konon bangunan fungsional tinggi yang berwujud skyscraper pertama. Piramida yang dibikin, dan menyisakan Cheops sebagai piramid paling insane yang pernah dibikin juga sarat dengan simbolisme. Yang membuatnya adalah pharaoh freak yang ingin dikenang, mengorbankan ratusan budak belian. Berlanjut ke era kegelapan (dark ages), menjadikan gereja sebagai bangunan tertinggi di kota, sampe saat ini masih bisa diamati pada katedral di Koeln atau Duomo-nya kota Milan. Simbolisme yang kemudian disebarkan juga oleh penaklukan bangsa Roma kepenjuru dunia sampai dunia Arab. Terus sampai ke India dengan Taj Mahal-nya dan juga ratusan bangunan-bangunan bersimbol lain. Masjid mewarnai sejarah perkembangan simbolisme tersebut dengan sedikit mengingkari dari konsep "masjid" sebenarnya sebagai tempat sujud. Berawal dari transformasi gereja dan istana Byzantium menjadi masjid, kemudian seolah masjid menjadi simbol identitas seperti halnya katedral Gothik yang juga memiliki standar-standar arsitektural.

Masjid Al Akbar adalah salah satunya. Dibangun dengan tujuan jelas, yaitu sebagai simbol kota Surabaya (karena tidak relevan jika dibangun sebegitu besar mengikuti kebutuhan jamaah-nya). Terletak di lingkungan permukiman yang sejatinya cukup dengan beberapa masjid kecil saja. Tetapi pengaruh letaknya yang berada di pinggir kota dan berada di jalur mobilitas-lah yang menjadikan masjid ini sebagai bagian dari simbol kota Surabaya. Dengan kemegahannya, secara efektif menggunakan media arsitektur untuk menyambut dan melepas laju manusia dari dan ke Surabaya. Entah sampai kapan untuk digantikan dengan simbol yang lebih "membumi" (baca: me-manusia) dalam waktu dekat. City of Tomorrow, superblok ekonomi siap menggantikan masjid Al Akbar sebagai simbol budaya baru. Lambang transisi cengkeraman budaya agama ke tangan materialisme.

Ikka
Entah sampai kapan gue masih bisa menatap dome masjid yang biru atau hijau tersebut dari dalam kaca bus yang perlahan menjauh dari Surabaya.

1 comment:

Fenty Lovegood said...

Wah gue disuruh comment nih, keharusan katanya, sebenernya satu yang aku pengen ngomong, " susah amat sih bahasanya ??? "
Apa itu extremely vast ?
Byzantium ?? What the heck is that ?? Cheops apalagi...
Gue jadi merasa bodoh kalo harus membaca tulisan bro gue yang satu ini. Hihihi

Emang sih al Akbar gedhe, bukannya sama gedhenya dengan Istiqlal ?? Secara gue gak pernah ke Istiqlal, tapi sering banget ke Al Akbar, jadi gak ngerti kalo Al Akbar itu emang gedhe banget. hihihi, lebih sering di luaran doang, kalo gak sholat id Adha, ya pernah masuk ke aula-nya. Waktu marriednya Mbak Phiep 2 tahun yang lalu. Diundang gak ?? hehehe, kan belum kenal ya ??

Bagus emang, seneng kalo ada di dalemnya, adeeeemmm banget, tenang, bener2 menunjukkan suasana mesjid. Beberapa Desainernya tuh dosen gue loh, boleh dong berbangga diri, hihihihi, kalo gitu Despro Rocks !!!!

UDah pernah ke puncak Al Akbar itu belum ?? Baru sekali sih, rasanya kaya' Monas aja, naek lift lamaaaaaa banget. Tapi di atas biasa2 aja, cuma ya tinggi, gitu aja.
Kaya'nya gunanya bukan untuk Adzan deh, tau deh buat apaan.