Friday, December 30, 2005

Java Plant Offices - Exploiting Nature in Positive Manner

Boxing day lalu, gw berkesempatan untuk melakukan "studi ekskursi" bareng (eks) temen-temen kuliah. Kebetulan, Andra Matin-; salah satu topflight architect di Indonesia- mempunyai hasil karya baru yang ngga begitu jauh dari tempat gw kuliah dulu, di Solo. Tepatnya di KarangPandan, area yang terletak di lereng gunung Lawu. Andra Matin mendesain dua bangunan kantor untuk kompleks pabrik jamu JavaPlant yang merupakan bagian dari DeltoMed, produsen obat Antangin JRG (remember Basuki dengan "wes-hewes-hewes"-nya?).

Terletak di lereng gunung, membuat dua bangunan tersebut seolah didesain untuk mengeksploitasi segala potensial alamnya (in a positive manner, tentunya). Bangunan pertama, sebuah kantor yang rencananya digunakan sebagai kantor manajerial, relatif kecil dan sederhana. Gerbangnya menggunakan konsep stereotomik, yang menyerupai huruf "T". Masuk dari gerbang, muncul hamparan kolam edgeless, yang menembus bawah ruang bangunan sampai ke area trap masuk ke dalam rumah. Selepas kolam, ruang luar dibagi menjadi dua bidang panjang berupa batuan dan rumput yang terpisah secara rapi menggunakan bidang pembatas. Di sampingnya, hamparan rumput yang ditata ala "zen" dengan tiga (atau empat) bidang potongan pohon sebagai "gunung"-nya, membuat desain simple-nya berasa Jepang. Alley sempit di belakang rumah dapat menembus sampai sisi samping-depan, berupa kolam yang mengantarkan kita ke titik awal (gerbang).

Borderless; antara ruang dalam dan ruang luar (kolam) yang terdapat di sisi bangunan pertama (kantor manajerial) dipisahkan transparan oleh kaca yang membuat suatu konektivitas menairk.

Di dalamnya, bangunan yang belum difungsikan ini masih terlihat lengang. Ada ruang penerima (mungkin akan mejadi ruang tamu), yang berbatasan langsung dengan kolam depan melalui bukaan optimalnya (kaca). Secara simetris (praduga), dipisahkan oleh ruang dalam, di sisi lain juga terdapat ruang yang sama, hanya saja berbatasan dengan hamparan rumput "zen" tersebut di atas. Pencahayaan di dalam ruang cukup optimal dengan adanya maksimalisasi fungsi bukaan kaca yang masif, serta skylight yang berupa titik temu sudut plafon dengan dinding tegak di sisi belakang bangunan. Angin yang mengalir juga bisa terjaga alurnya dengan memberi dinding-dinding terbuka pada sisi depan-nya (meski dalam hal desain, kita ngga bisa memastikan yang mana depan dan yang mana belakang, tapi orientasi bangunan kita tinjau dari sisi kita memasuki bangunan). Kebetulan pada saat itu hujan turun, sehingga kita juga berkesempatan menyaksikan akurasi dan presisi pertimbangan perancangan atap. Tempias air hujan secara akurat jatuh di area hijau yang mengelilingi bangunan (kecuali bagian kolam, tentunya). Hal itu tentunya meminimalkan resiko becek dan banjir apabila sampai merambah ke area batuan (yang notabene lebih impermeabel dibanding lapisan tanah dan rumput).

Bouvenlicht yang terdapat pada titik temu plafond yang mengikuti atap, dengan dinding tegak lurus di bagian belakang memberikan suatu pencahayaan dramatis pada sisi bidang.

Kemudian ke bangunan kedua, berupa kantor administrasi yang kebetulan waktu itu sedang kosong dalam rangka libur natal. Terletak sekitar 15 meter dari bangunan pertama, kantor ini lebih besar secara ukuran. Di bagian depan (sekali lagi, orientasi kita dasarkan pada sisi kita masuk) terdapat patung ganesha, dan untuk bangunan yang kedua ini lebih banyak unsur kayu yang di-vernis coklat tua mendominasi bangunan, sehingga relatif lebih "etnis" Indonesia. Masuk ke ruangan pertama, berupa ruang tamu lengkap dengan perabot klasik Jawa-nya, kita mendapatkan suasana yang lebih hidup di bagian ini. Tentu saja karena sehari-hari bangunan ini sudah beroperasi dan menjalankan fungsinya. Dari ruang tamu, kemudian melangkah masuk menuju satu koridor panjang yang di sisi-sisinya terdapat banyak ruang. Dominasi warna putih yang mengaburkan sisi lorong membuat semacam efek yang terdapat di film kartun dua dimensi berupa lorong dengan banyak pintu. Di samping kiri, beberapa ruang seperti unit ruang kantor, toliet, musholla dan ruang presentasi berbatasan langsung dengan ruang luarnya berupa kebun tanaman obat. Batas antara ruang luar dan ruang dalam dibuat transparan, bahkan sampai pada toilet. Sementara di sebelah kanan, terdapat unit-unit ruang kantor dan ruang rapat yang juga berbatasan langsung dengan ruang luar. Di sini ini, ruang luarnya berupa ruang hijau dan kolam. Kembali ke lorong, jika menyusuri sampai tuntas, akan ada kejutan klimaks pada rancangan rumah ini, berupa kolam luas yang menyambung dengan "padang rumput", serta panorama gunung lawu. Sangat kontemplatif dengan suasana. Gw ngebayangin kalo di tengah stress kita kerja, pergi ke area tersebut, menenangkan diri. Suasana yang luar biasa.

Atap kaca di bangunan kantor administratif, memberikan cahaya yang cukup bagi ruangan di dalamnya, sekaligus kompensasi penghangat akibat begitu mengalirnya udara gunung ke seluruh ruangan. Alasan itu juga yang mencegah penggunaan plafond supaya sistem penghawaan alami ini bisa berjalan natural.

Dari sebuah kombinasi 3 unsur, air-vegetasi-dan batu, dua bangunan tersebut bisa blend-sepenuhnya dengan aspek alamiah yang ingin dicapai dari atmosfer lingkungan. Juga antara mengaburkan batas ruang luar dan ruang dalam sebagai bentuk eksploitasi alam dalam prinsip arsitektur juga menjadikan kesatuan utuh antara first nature dan second nature-nya Hegel. Tanpa harus tampil dengan bentuk atau form bangunan yang kompleks, tapi dengan detail-detail rapi serta pemainan juxtaposisi 3 unsur tersebut, Andra Matin berhasil menghadirkan impresi yang kuat dari kesan alamiah bangunan. Serta unsur "pengalaman" ruang yang ada di bangunan (terutama kantor administrasi) menjadikan objek arsitektur ini sangat kuat kesannya bagi kita yang ber-ekskursi di sana. Atau menjelaskan keseimbangan yang ada di bangunan kantor manajerial, antara sisi ketenangan kolam dan keseimbangan "zen garden". Fungsi alamiah memang bisa bersanding dengan lingkungan buatan dalam kapasitas hubungan timbal balik secara seimbang, baik visual maupun sistemnya. Bangunan ini seolah menjadi bangunan yang menyatu dengan lingkungannya tanpa kehilangan karakternya.

Permainan juxtaposisi 3 unsur alam, berupa air, vegetasi dan batuan pada sisi selatan kantor administrasi. Didukung juga dengan permainan detail yang rapi dari Andra Matin.

Di bagian belakang rumah, masih dengan tema kombinasi dan juxtaposisi 3 unsur itu, secara selaras menciptakan vista yang indah dan kontemplatif bagi karyawan kantor ini. Dominasi penggunaan kayu yang berwarna coklat tua juga memberikan impresi etnis ala imej bangunan yang sering muncul dalam coffee-table books tentang arsitektur Indonesia.

Klimaks dari lorong, bagian belakang menunjukkan satu kontinuitas ruang dari alam artifisial ke alam natural (berlanjut dari edgeless pool, ke padang rumput), yang terus menyambung sampai ke panorama gunung Lawu sebagai latar yang sempurna.

Ekskursi diakhiri bersamaan dengan redanya hujan, yang mengharuskan kita kembali ke Solo. Gw inget pengalaman ekskursi terakhir ke Masjid Al Akbar, yang bisa dibilang kontras dari salah satu segi (lihat postingan gw sebelumnya). Bangunan Andra Matin hadir dengan konsep low profile-nya atas alam, sementara masjid terbesar di Asia Tenggara tersebut dibangun sebagai simbol penaklukan manusia atas alam (dalam arti kiasan). Keduanya memiliki sisi-sisi kekuatan dan kelemahan tersendiri untuk memesona apresiator-nya. Jika yang satu hadir dalam sekala perbandingan minor, dari objek untuk melihat alam yang lebih besar, satunya lagi hadir untuk memperlihatkan objek dalam skala alam yang lebih besar. Tetapi keduanya membuat perbandingan menarik antara mikro kosmos dengan makro kosmos-nya.

Peserta Studi Ekskursi, ki-ka: gw, Sofy, Rafael, staf Java Plant, bu Nunuk, Jati, bu Ummul dan Heru, minus Purwo (fotografer gambar ini) dan juga Alfian. (photograph courtsey of Purwo Prasetyo)

* Thanks to staf Java Plant yang udah ngasi ijin, serta bu Nunuk atas akomodasi kendaraan-nya. All photographs courtsey of Hilman Taofani, the blog-author, except the last photograph.

Thursday, December 08, 2005

Masjid Al Akbar - Grandness Symbolism and Memories Within

Tiga tahun yang lalu, secara sekilas di tiap perjalanan melewati lingkar Waru (flyover 4 jalur yang membentuk formasi daun semanggi, atau waru dalam bahasa Jawa) yang terkenal di Surabaya, ada suatu debat yang konyol antara gue dan temen-temen gue. Ada masjid di kejauhan yang tampak hanya dome-nya..."apakah itu hijau atau biru". Suatu debat yang subjektif sekali karena warna-nya nanggung banget kaya' warna air laut yang berisi algae. Hijau kebiru-biruan (atau biru kehijauan...?). Yang jelas, dari "perselisihan" itu mulai dibuka satu dialog antara sebuah objek arsitektur berupa masjid dengan apresiator-nya. Pengalaman yang menarik dan selalu dikenang dari masa lalu.

Itu adalah sepenggal memori dari masa lalu tentang sebuah mesjid. Tempat ibadah yang diberi nama Al-Akbar ini sungguh-sungguh menjadi yang paling gede dalam artian harfiah (ternyata) dengan titel sebagai masjid terbesar di Asia Tenggara (tau dari iklan mi instan). Gw ngga pernah kepikir aslinya, kalo objek yang dome-nya menjadi pangkal debat itu segitu besarnya. It was big, I knew it...but never thought to be "that" big. Dibangun tahun 1999 (peresmiannya) dan berlokasi di wilayah pinggir kota Surabaya. Secara perletakan yang berada di tengah-tengah lingkungan permukiman, bikin mesjid ini memang terlihat "grandeur". Apalagi "kebesaran"-nya juga bisa diakses dari mobilitas, baik yang melalui jalan raya maupun rel kereta.

Bulan November 2005, di suatu Sabtu pagi gue "iseng" mencoba ke masjid tersebut. Kompleks masjid tepatnya, karena area seputar-nya juga extremely vast. Kaya' kawasan sebuah stadion yang juga memiliki area void luas. Mungkin kaya' kawasan Manahan kalo di Solo atau Senayan di Jakarta. Ruang-ruang kosong yang ada di seputar masjid juga berperan mendorong aktivitas-aktivitas publik. Ruang-ruang yang notabene adalah halaman masjid itu menjadi lahan olahraga, jualan, nongkrong dan cucimata seperti halnya ruang-ruang publik lain. Ini sekaligus sedikit mengikis ide-ide fungsionalisasi ruang-ruang artifisial. Secara naluriah, aktivitas manusia selalu muncul dalam ruang-ruang yang memiliki keterkaitan posesivitas dengan masing-masing. Dalam kajian arsitektur masjid yang berkembang, ruang-ruang kosong di sekitar masjid sengaja dibuat untuk menyediakan ruang apresiasi mental sebelum memasuki rumah Allah (konon). Ada juga yang berteori bahwa hal itu semata adapasi dari sistem tata ruang di kokta-kota kuno Timur Tengah di mana masjid itu sejatinya adalah urban square yang dipake untuk "bersujud". Sehingga dari sejak jaman Nabi, masjid selalu bisa berperan sebagai pusat aktivitas. Oleh karena itu, masjid-masjid (agung) kota (lama) di Indonesia biasanya punya ruang void yang lumayan luas (biasanya di depan), atau bahkan dalam kosmologi Jawa juga diterapkan dengan meletakkan masjid dalam konstelasi empat paket pada sebuah alun-alun.

Menara
Kembali ke Masjid Al Akbar, segala sesuatunya memang "akbar" di sini. Menara yang juga merupakan "paket" dari bangunan-bangunan masjid juga dibangun dalam skala yang mengikuti kebesaran bangunan lain, meski secara fungsional bisa sedikit diperdebatkan. Menara masjid muncul dalam pemahaman yang sedikit misintepretasi. Banyak yang mengemukakan teori bahwa menara masjid awalnya muncul sebagai minaret yang dipakai muazin untuk menyerukan azan. Tapi gue lebih condong ke teori yang menyatakan kalo bangunan menara (yang terpisah) itu sebetulnya diambil dari tipologi bangunan benteng sebagai mekanisme pengawasan, yang kemudian diadopsi arsitektur byzantium sebagai "aksesoris" bangunan istana atau gereja. Tetapi saat ini menara tampak sebagai aksesori wajib dari bangunan masjid. Begitu juga dengan dome. Pada arsitektur masjid Al Akbar, dome menjadi elemen utama. Dengan bentuk bawang, dome yang ternyata mosaik dari keramik berwarna hijau ganggang dan biru laut (yang sekaligus menjelaskan tentang jawaban "perselisihan" warna di atas - pen) ini menjadi identitas utama dari Masjid Al Akbar. Dome pada masjid juga muncul dari arsitektur byzantium. Dulunya berkembang dari kreativitas tektonis bangsa romawi dengan menciptakan lengkung yang dimodifikasi. Dome ini juga menjadi salah satu lambang arsitektur mesjid di Indonesia, termasuk masjid Al Akbar yang menggunakan atap bawang-nya sebagai simbol utama. Paradigma yang mulai dikikis oleh arsitek masjid kontemporer Indonesia, Ahmad Noe'man, dengan rancangan bangunan masjid Salman di ITB dan beberapa masjid lain.

Kubah
Sayang, gue ngga sempet lagi mengeksplor ke dalam masjid secara detail. Cuman ngeliat di seputaran luar aja, yang banyak didomonasi oleh sudut-sudut tajam menandakan bangunan yang kaku dan persegi. Seperti halnya agama yang tegas (ini mungkin alibi dari arsitek-arsitek masjid, hehe). Dan juga ornamentasi yang "timur tengah"-ism. Suatu pemakaian konsep yang juga menjadi imitasi belaka, karena esensinya tidak pernah diatur secara khusus dalam kriteria "masjid". Kemudian masuk sedikit ke dalam, di teras masjid, sebelum masuk ke bagian dalam. Terdapat kolam besar yang penuh dengan selang, ternyata merupakan sebuah kolam air mancur dalam keadaan mati. Di depannya (ah ini orientasi yang relatif sekali) terdapat ruang antara yang mengantarkan kita ke dalam masjid. Pengaruh kubah yang demikian besar terhadap tampilan eksterior ternyata juga memberi efek yang serupa dengan interior-nya. Ruang yang terbentuk tepat di bawah kubah memberikan skala yang luar biasa terhadap ke-akbar-an masjid ini. Menandakan kecilnya manusia di hadapan Tuhan, mungkin lagi-lagi ini konsep yang dipake oleh arsitek-nya. Yang jelas, perbandingan skala itu telah membentuk suatu spiritualitas ruang artifisial yang cukup berhasil dalam keadaan masjid kosong. Gue ngebayangin duduk itikaf di sana pada malam Ramadan, tentu akan sangat menggetarkan. So silly, itikaf di masjid "biasa" aja belom pernah...

Superimposisi
Menakjubkan memang, dari waktu ke waktu tentang bagaimana simbolisme mengatur bangunan-bangunan yang dibuat oleh manusia. Kembali ke jaman purba, simbolisme pertama berupa tetenger dari era megalit mungkin berupa menhir. Makin tinggi menhir, makin bergengsi pula orang yang dikubur di dalamnya (menhir berfungsi sebagai pusara). Kemudian ke jaman peradaban, tentu masih inget menara-menara babel. Konon bangunan fungsional tinggi yang berwujud skyscraper pertama. Piramida yang dibikin, dan menyisakan Cheops sebagai piramid paling insane yang pernah dibikin juga sarat dengan simbolisme. Yang membuatnya adalah pharaoh freak yang ingin dikenang, mengorbankan ratusan budak belian. Berlanjut ke era kegelapan (dark ages), menjadikan gereja sebagai bangunan tertinggi di kota, sampe saat ini masih bisa diamati pada katedral di Koeln atau Duomo-nya kota Milan. Simbolisme yang kemudian disebarkan juga oleh penaklukan bangsa Roma kepenjuru dunia sampai dunia Arab. Terus sampai ke India dengan Taj Mahal-nya dan juga ratusan bangunan-bangunan bersimbol lain. Masjid mewarnai sejarah perkembangan simbolisme tersebut dengan sedikit mengingkari dari konsep "masjid" sebenarnya sebagai tempat sujud. Berawal dari transformasi gereja dan istana Byzantium menjadi masjid, kemudian seolah masjid menjadi simbol identitas seperti halnya katedral Gothik yang juga memiliki standar-standar arsitektural.

Masjid Al Akbar adalah salah satunya. Dibangun dengan tujuan jelas, yaitu sebagai simbol kota Surabaya (karena tidak relevan jika dibangun sebegitu besar mengikuti kebutuhan jamaah-nya). Terletak di lingkungan permukiman yang sejatinya cukup dengan beberapa masjid kecil saja. Tetapi pengaruh letaknya yang berada di pinggir kota dan berada di jalur mobilitas-lah yang menjadikan masjid ini sebagai bagian dari simbol kota Surabaya. Dengan kemegahannya, secara efektif menggunakan media arsitektur untuk menyambut dan melepas laju manusia dari dan ke Surabaya. Entah sampai kapan untuk digantikan dengan simbol yang lebih "membumi" (baca: me-manusia) dalam waktu dekat. City of Tomorrow, superblok ekonomi siap menggantikan masjid Al Akbar sebagai simbol budaya baru. Lambang transisi cengkeraman budaya agama ke tangan materialisme.

Ikka
Entah sampai kapan gue masih bisa menatap dome masjid yang biru atau hijau tersebut dari dalam kaca bus yang perlahan menjauh dari Surabaya.

Wednesday, November 23, 2005

Ciri Khas Kota Besar Kita

Mengawali posting di blog tentang ruang dan desain ini, adik kelas gw dengan sukarela sharing tulisannya menjadi awalan yang memotivasi.

Posted by: Diah Pratiwi (Architecture student@Sebelas Maret Univ. class of 2004)
Web: http://stradivari.blogs.friendster.com/my_blog/

Pada waktu liburan Lebaran baru-baru ini banyak saudara yang berkunjung ke rumah saya. Disaat kami sedang berbincang-bincang tiba- tiba kami sampai ke topik pembahasan tentang perjalanan terakhir ke kota-kota besar di Indonesia di antaranya Surabaya dan Bandung. Secara otomatis, muncul berbagai kritik mengenai kota-kota tersebut. “Terakhir neng Surabaya, wes ra karu-karuan, isine ruko dan mall kabeh, rumah dinesku ndek biyen aja ora enek...”, seloroh Kakek saya. “Iya suasana Surabaya pada jaman saya kuliah beda banget sama sekarang, suasana Surabaya-nya jadi hilang, Bandung juga, ruko dimana-mana...”, tambah Paman saya. Saya yang pada awalnya sempat bosan mendengar basa-basi obrolan keluarga jadi tiba-tiba terbanngun, “...wah, apresiasi arsitektur nih” pikir saya. Ternyata, tanpa belajar arsitekturpun kita mampu berapresiasi secara arsitektural. Walaupun mungkin terkesan subjektif namun dari pernyataan-pernyataan di atas kita dapat melihat bahwa kecenderungan pembangunan saat ini adalah mendirikan ruko dan mall sebanyak-banyaknya. Tidak jarang di surat kabar sering muncul iklan-iklan mengenai ruko atau mall yang akan dan sudah dibangun termasuk tarif sewanya. Ruko dan mall sekarang muncul bagaikan jamur. Di saat satu ruko atau mall sudah penuh sesak dan banyak pengunjung, didirikan lagi ruko atau mall di daerah lain (yang kadang-kadang tidak berjauhan dengan ruko atau mall yang sebelumnya). Alhasil, ruko atau mall yang baru, ramai dikunjungi orang dan ruko atau mall yang sebelumnya menjadi sepi oleh pengunjung. Fenomena ini berlangsung terus bagaikan siklus jamur yang tiada akhir. Begitu satu jamur sudah busuk muncul jamur baru lagi. Sayangnya pemenuhan kebutuhan (atau keinginan) masyarakat sekarang hanya terbatas pada materi dan mengesampingkan nilai-nilai lain. Contoh fisiknya yang juga menurut saya adalah yang paling ekstrim adalah kasus pergusuran SMPN 156 di Jakarta yang direncanakan akan dibangun menjadi pusat perbelanjaan atau mall tadi. Konsumerisme diatas pendidikan?

Walaupun fenomena tadi terlihat singkat dan global namun langsung terbersit berbagai pertanyaan. Apakah kota-kota besar kita separah itu? Apakah kota-kota besar kita telah kehilangan identitas mereka? Bila kita berjalan di kota-kota besar, apakah kita masih dapat merasakan soul dari kota tersebut?


HongKong CityScape

Bila dipikir dan dirasakan lebih lanjut lagi, secara tidak langsung kota-kota dimanapun di dunia telah termakan oleh arus modernisasi dan materialisasi khususnya di Asia. Saya dulu sempat berlibur ke Hong Kong, sebuah kota yang spektakuler dan sangat maju. Bangunan tinggi berjejer terus menerus dan bila kita sedang di dalam mobil dan ingin melihat salah satu puncak gedungnya, dijamin kita tidak akan bisa melihat puncaknya. Dengan kepadatan penduduk yang tinggi dan terkesan semrawut, keteraturan dan kerapian masih tetap terjaga. Orang-orang berlalu-lalang tanpa melihat kanan-kiri, seperti berada di antara semut-semut pekerja yang sibuk mencapai deadline. Arus yang begitu dinamis dan cepat dan lagi-lagi yang menggerakkan semua ini adalah materi. Di Hong Kong, kesan orientalnya seperti hilang walau tetap ada (munkin baru terasa kalau kita main ke pasar-pasar tradisionalnya dan dari tampilan billboard dan lampu-lampu dalam Bahasa Mandarin). Kesimpulannya, kota-kota besar di Asia maupun di Indonesia sedang mengalami western-isasi yang drastis. Namun, pertanyaannya disini adalah apakah western-isasi tersebut dan konsep urbanisasi kota ‘modern’-nya sesuai dengan negara kita? Salah satu faktor mengapa kota-kota di Eropa lebih sukses ‘mencirikan diri’ adalah karena mereka membangun dengan sangat teliti dan membutuhkan proses yang panjang dengan kerjasama yang baik antar ahli-ahli dibidangnya. Ditambah lagi, mereka membangun dengan mempertimbangkan aset sejarah dan lingkungan yang ada. Sangat lain dengan kota-kota besar kita yang membangun dengan serba instan dan lebih menekankan pada estetika belaka belum lagi ditambah dengan kerjasama yang kurang baik di antara sektor-sektor yang terlibat. Tidak heran bahwa lambat laun kita akan kehilangan identitas kita yang membedakan bangsa kita dari bangsa-bangsa yang lain dengan dalih modernisasi dan pemenuhan kebutuhan (yang ternyata lebih banyak ke keinginan-keinginan yang tidak perlu) secara serba instan.

Sebuah kota mencerminkan banyak hal dan merupakan potensi utama sebuah negara. Tidak hanya sebagai pusat perekonomian atau tempat bekerja namun juga sebagai tempat sosialisasi, tempat hunian dan untuk pariwisata. Salah satu kota yang sukses mencerminkan semua yang di atas tanpa kehilangan identitasnya adalah kota San Fransisco di Amerika Serikat. Kota yang telah ditata dengan baik, baik secara fungsi maupun estetika. San Fransisco merupakan salah satu kota tujuan utama pariwisata di Amerika dengan iklimnya yang bersahabat dan suasana yang tenang. Di antara daya tariknya adalah rumah-rumah tua dengan gaya khas Victorian-nya dan beberapa bangunan tua lain yang memiliki nilai-nilai sejarah. Konon bangunan-bangunan ini difoto untuk kartu pos yang dikoleksi oleh turis-turis asing dari seluruh dunia. Lumayan untuk menambah penghasilan dari pariwisata.

Langsung terpikir oleh saya, di negara maju bangunan tua dilindungi dan dijaga tapi kenapa di Indonesia nggak? Malah dipugar untuk jadi ruko atau mall. Katanya mau maju. Ironis. Bangunan-bangunan tua adalah bentuk refleksi sebuah kota baik secara waktu dan fisik dan dapat dilihat secara nyata perkembangan yang telah terjadi. Sebuah sintesa antara masa lampau dan sekarang. Itu yang kurang terlihat di kota-kota besar kita. Jadi, bila itu hilang apakah kita harus ke museum untuk membayangkan kehidupan di masa lampau?

Saya tidak bisa membayangkan rumah-rumah dengan gaya arsitektural kolonial Belanda dipugar semua dan generasi penerus kita harus ke museum untuk melihat contoh maketnya agar dapat mempelajari gaya tersebut. Fenomena ini mungkin sudah terlihat dengan rumah-rumah tradisional kita yang semakin termarjinalkan yang mungkin pada akhirnya kita hanya bisa mempelajarinya dengan berkunjung ke Taman Mini Indonesia Indah.
Mungkin juga itu menjadi salah satu alasan mengapa negara kita minder dengan negara lain apalagi negara maju. Misalnya minder dengan Malaysia, negara tetangga dekat kita. Minder karena identitas kita semakin hilang? Apa yang kita bisa banggakan dari kota-kota besar di Indonesia? Mungkin Yogjakarta atau Denpasar masih bisa dibanggakan karena esensi budayanya yang masih kental tapi kota-kota yang lain? Contohnya Jakarta, yang mungkin bila kita menanyakan ke generasi muda sekarang, jawaban yang paling sering keluar tentang apa yang bisa dibanggakan dari kota Jakarta berupa shopping dan night life-nya. Apakah hanya sedangkal itu? Masihkah ada hal lain yang kita bisa banggakan dari kota-kota besar di Indonesia?

Kemana arsitek-arsitek Indonesia di dalam fenomena ini? Apakah mereka terhanyut arus materialisasi dan konsumerisme? Apakah kita sebagai mahasiswa arsitektur akan terhanyut juga? Sebagai arsitek kita dituntut untuk menyelesaikan permasalahan-permasalahan yang sedang terjadi. Namun, mari kita selesaikan dengan lebih manusiawi, lebih mempertimbangkan hal-hal disekitar dengan lebih teliti, dengan mempelajari proses dan mendapatkan esensinya, tidak menyepelekannya, dan bukan untuk pencapain kebutuhan atau deadline dengan cara yang serba instan yang malah menambah permasalahan-permasalahan tadi.