Wednesday, November 23, 2005

Ciri Khas Kota Besar Kita

Mengawali posting di blog tentang ruang dan desain ini, adik kelas gw dengan sukarela sharing tulisannya menjadi awalan yang memotivasi.

Posted by: Diah Pratiwi (Architecture student@Sebelas Maret Univ. class of 2004)
Web: http://stradivari.blogs.friendster.com/my_blog/

Pada waktu liburan Lebaran baru-baru ini banyak saudara yang berkunjung ke rumah saya. Disaat kami sedang berbincang-bincang tiba- tiba kami sampai ke topik pembahasan tentang perjalanan terakhir ke kota-kota besar di Indonesia di antaranya Surabaya dan Bandung. Secara otomatis, muncul berbagai kritik mengenai kota-kota tersebut. “Terakhir neng Surabaya, wes ra karu-karuan, isine ruko dan mall kabeh, rumah dinesku ndek biyen aja ora enek...”, seloroh Kakek saya. “Iya suasana Surabaya pada jaman saya kuliah beda banget sama sekarang, suasana Surabaya-nya jadi hilang, Bandung juga, ruko dimana-mana...”, tambah Paman saya. Saya yang pada awalnya sempat bosan mendengar basa-basi obrolan keluarga jadi tiba-tiba terbanngun, “...wah, apresiasi arsitektur nih” pikir saya. Ternyata, tanpa belajar arsitekturpun kita mampu berapresiasi secara arsitektural. Walaupun mungkin terkesan subjektif namun dari pernyataan-pernyataan di atas kita dapat melihat bahwa kecenderungan pembangunan saat ini adalah mendirikan ruko dan mall sebanyak-banyaknya. Tidak jarang di surat kabar sering muncul iklan-iklan mengenai ruko atau mall yang akan dan sudah dibangun termasuk tarif sewanya. Ruko dan mall sekarang muncul bagaikan jamur. Di saat satu ruko atau mall sudah penuh sesak dan banyak pengunjung, didirikan lagi ruko atau mall di daerah lain (yang kadang-kadang tidak berjauhan dengan ruko atau mall yang sebelumnya). Alhasil, ruko atau mall yang baru, ramai dikunjungi orang dan ruko atau mall yang sebelumnya menjadi sepi oleh pengunjung. Fenomena ini berlangsung terus bagaikan siklus jamur yang tiada akhir. Begitu satu jamur sudah busuk muncul jamur baru lagi. Sayangnya pemenuhan kebutuhan (atau keinginan) masyarakat sekarang hanya terbatas pada materi dan mengesampingkan nilai-nilai lain. Contoh fisiknya yang juga menurut saya adalah yang paling ekstrim adalah kasus pergusuran SMPN 156 di Jakarta yang direncanakan akan dibangun menjadi pusat perbelanjaan atau mall tadi. Konsumerisme diatas pendidikan?

Walaupun fenomena tadi terlihat singkat dan global namun langsung terbersit berbagai pertanyaan. Apakah kota-kota besar kita separah itu? Apakah kota-kota besar kita telah kehilangan identitas mereka? Bila kita berjalan di kota-kota besar, apakah kita masih dapat merasakan soul dari kota tersebut?


HongKong CityScape

Bila dipikir dan dirasakan lebih lanjut lagi, secara tidak langsung kota-kota dimanapun di dunia telah termakan oleh arus modernisasi dan materialisasi khususnya di Asia. Saya dulu sempat berlibur ke Hong Kong, sebuah kota yang spektakuler dan sangat maju. Bangunan tinggi berjejer terus menerus dan bila kita sedang di dalam mobil dan ingin melihat salah satu puncak gedungnya, dijamin kita tidak akan bisa melihat puncaknya. Dengan kepadatan penduduk yang tinggi dan terkesan semrawut, keteraturan dan kerapian masih tetap terjaga. Orang-orang berlalu-lalang tanpa melihat kanan-kiri, seperti berada di antara semut-semut pekerja yang sibuk mencapai deadline. Arus yang begitu dinamis dan cepat dan lagi-lagi yang menggerakkan semua ini adalah materi. Di Hong Kong, kesan orientalnya seperti hilang walau tetap ada (munkin baru terasa kalau kita main ke pasar-pasar tradisionalnya dan dari tampilan billboard dan lampu-lampu dalam Bahasa Mandarin). Kesimpulannya, kota-kota besar di Asia maupun di Indonesia sedang mengalami western-isasi yang drastis. Namun, pertanyaannya disini adalah apakah western-isasi tersebut dan konsep urbanisasi kota ‘modern’-nya sesuai dengan negara kita? Salah satu faktor mengapa kota-kota di Eropa lebih sukses ‘mencirikan diri’ adalah karena mereka membangun dengan sangat teliti dan membutuhkan proses yang panjang dengan kerjasama yang baik antar ahli-ahli dibidangnya. Ditambah lagi, mereka membangun dengan mempertimbangkan aset sejarah dan lingkungan yang ada. Sangat lain dengan kota-kota besar kita yang membangun dengan serba instan dan lebih menekankan pada estetika belaka belum lagi ditambah dengan kerjasama yang kurang baik di antara sektor-sektor yang terlibat. Tidak heran bahwa lambat laun kita akan kehilangan identitas kita yang membedakan bangsa kita dari bangsa-bangsa yang lain dengan dalih modernisasi dan pemenuhan kebutuhan (yang ternyata lebih banyak ke keinginan-keinginan yang tidak perlu) secara serba instan.

Sebuah kota mencerminkan banyak hal dan merupakan potensi utama sebuah negara. Tidak hanya sebagai pusat perekonomian atau tempat bekerja namun juga sebagai tempat sosialisasi, tempat hunian dan untuk pariwisata. Salah satu kota yang sukses mencerminkan semua yang di atas tanpa kehilangan identitasnya adalah kota San Fransisco di Amerika Serikat. Kota yang telah ditata dengan baik, baik secara fungsi maupun estetika. San Fransisco merupakan salah satu kota tujuan utama pariwisata di Amerika dengan iklimnya yang bersahabat dan suasana yang tenang. Di antara daya tariknya adalah rumah-rumah tua dengan gaya khas Victorian-nya dan beberapa bangunan tua lain yang memiliki nilai-nilai sejarah. Konon bangunan-bangunan ini difoto untuk kartu pos yang dikoleksi oleh turis-turis asing dari seluruh dunia. Lumayan untuk menambah penghasilan dari pariwisata.

Langsung terpikir oleh saya, di negara maju bangunan tua dilindungi dan dijaga tapi kenapa di Indonesia nggak? Malah dipugar untuk jadi ruko atau mall. Katanya mau maju. Ironis. Bangunan-bangunan tua adalah bentuk refleksi sebuah kota baik secara waktu dan fisik dan dapat dilihat secara nyata perkembangan yang telah terjadi. Sebuah sintesa antara masa lampau dan sekarang. Itu yang kurang terlihat di kota-kota besar kita. Jadi, bila itu hilang apakah kita harus ke museum untuk membayangkan kehidupan di masa lampau?

Saya tidak bisa membayangkan rumah-rumah dengan gaya arsitektural kolonial Belanda dipugar semua dan generasi penerus kita harus ke museum untuk melihat contoh maketnya agar dapat mempelajari gaya tersebut. Fenomena ini mungkin sudah terlihat dengan rumah-rumah tradisional kita yang semakin termarjinalkan yang mungkin pada akhirnya kita hanya bisa mempelajarinya dengan berkunjung ke Taman Mini Indonesia Indah.
Mungkin juga itu menjadi salah satu alasan mengapa negara kita minder dengan negara lain apalagi negara maju. Misalnya minder dengan Malaysia, negara tetangga dekat kita. Minder karena identitas kita semakin hilang? Apa yang kita bisa banggakan dari kota-kota besar di Indonesia? Mungkin Yogjakarta atau Denpasar masih bisa dibanggakan karena esensi budayanya yang masih kental tapi kota-kota yang lain? Contohnya Jakarta, yang mungkin bila kita menanyakan ke generasi muda sekarang, jawaban yang paling sering keluar tentang apa yang bisa dibanggakan dari kota Jakarta berupa shopping dan night life-nya. Apakah hanya sedangkal itu? Masihkah ada hal lain yang kita bisa banggakan dari kota-kota besar di Indonesia?

Kemana arsitek-arsitek Indonesia di dalam fenomena ini? Apakah mereka terhanyut arus materialisasi dan konsumerisme? Apakah kita sebagai mahasiswa arsitektur akan terhanyut juga? Sebagai arsitek kita dituntut untuk menyelesaikan permasalahan-permasalahan yang sedang terjadi. Namun, mari kita selesaikan dengan lebih manusiawi, lebih mempertimbangkan hal-hal disekitar dengan lebih teliti, dengan mempelajari proses dan mendapatkan esensinya, tidak menyepelekannya, dan bukan untuk pencapain kebutuhan atau deadline dengan cara yang serba instan yang malah menambah permasalahan-permasalahan tadi.