Terletak di lereng gunung, membuat dua bangunan tersebut seolah didesain untuk mengeksploitasi segala potensial alamnya (in a positive manner, tentunya). Bangunan pertama, sebuah kantor yang rencananya digunakan sebagai kantor manajerial, relatif kecil dan sederhana. Gerbangnya menggunakan konsep stereotomik, yang menyerupai huruf "T". Masuk dari gerbang, muncul hamparan kolam edgeless, yang menembus bawah ruang bangunan sampai ke area trap masuk ke dalam rumah. Selepas kolam, ruang luar dibagi menjadi dua bidang panjang berupa batuan dan rumput yang terpisah secara rapi menggunakan bidang pembatas. Di sampingnya, hamparan rumput yang ditata ala "zen" dengan tiga (atau empat) bidang potongan pohon sebagai "gunung"-nya, membuat desain simple-nya berasa Jepang. Alley sempit di belakang rumah dapat menembus sampai sisi samping-depan, berupa kolam yang mengantarkan kita ke titik awal (gerbang).
Borderless; antara ruang dalam dan ruang luar (kolam) yang terdapat di sisi bangunan pertama (kantor manajerial) dipisahkan transparan oleh kaca yang membuat suatu konektivitas menairk.
Di dalamnya, bangunan yang belum difungsikan ini masih terlihat lengang. Ada ruang penerima (mungkin akan mejadi ruang tamu), yang berbatasan langsung dengan kolam depan melalui bukaan optimalnya (kaca). Secara simetris (praduga), dipisahkan oleh ruang dalam, di sisi lain juga terdapat ruang yang sama, hanya saja berbatasan dengan hamparan rumput "zen" tersebut di atas. Pencahayaan di dalam ruang cukup optimal dengan adanya maksimalisasi fungsi bukaan kaca yang masif, serta skylight yang berupa titik temu sudut plafon dengan dinding tegak di sisi belakang bangunan. Angin yang mengalir juga bisa terjaga alurnya dengan memberi dinding-dinding terbuka pada sisi depan-nya (meski dalam hal desain, kita ngga bisa memastikan yang mana depan dan yang mana belakang, tapi orientasi bangunan kita tinjau dari sisi kita memasuki bangunan). Kebetulan pada saat itu hujan turun, sehingga kita juga berkesempatan menyaksikan akurasi dan presisi pertimbangan perancangan atap. Tempias air hujan secara akurat jatuh di area hijau yang mengelilingi bangunan (kecuali bagian kolam, tentunya). Hal itu tentunya meminimalkan resiko becek dan banjir apabila sampai merambah ke area batuan (yang notabene lebih impermeabel dibanding lapisan tanah dan rumput).
Bouvenlicht yang terdapat pada titik temu plafond yang mengikuti atap, dengan dinding tegak lurus di bagian belakang memberikan suatu pencahayaan dramatis pada sisi bidang.
Kemudian ke bangunan kedua, berupa kantor administrasi yang kebetulan waktu itu sedang kosong dalam rangka libur natal. Terletak sekitar 15 meter dari bangunan pertama, kantor ini lebih besar secara ukuran. Di bagian depan (sekali lagi, orientasi kita dasarkan pada sisi kita masuk) terdapat patung ganesha, dan untuk bangunan yang kedua ini lebih banyak unsur kayu yang di-vernis coklat tua mendominasi bangunan, sehingga relatif lebih "etnis" Indonesia. Masuk ke ruangan pertama, berupa ruang tamu lengkap dengan perabot klasik Jawa-nya, kita mendapatkan suasana yang lebih hidup di bagian ini. Tentu saja karena sehari-hari bangunan ini sudah beroperasi dan menjalankan fungsinya. Dari ruang tamu, kemudian melangkah masuk menuju satu koridor panjang yang di sisi-sisinya terdapat banyak ruang. Dominasi warna putih yang mengaburkan sisi lorong membuat semacam efek yang terdapat di film kartun dua dimensi berupa lorong dengan banyak pintu. Di samping kiri, beberapa ruang seperti unit ruang kantor, toliet, musholla dan ruang presentasi berbatasan langsung dengan ruang luarnya berupa kebun tanaman obat. Batas antara ruang luar dan ruang dalam dibuat transparan, bahkan sampai pada toilet. Sementara di sebelah kanan, terdapat unit-unit ruang kantor dan ruang rapat yang juga berbatasan langsung dengan ruang luar. Di sini ini, ruang luarnya berupa ruang hijau dan kolam. Kembali ke lorong, jika menyusuri sampai tuntas, akan ada kejutan klimaks pada rancangan rumah ini, berupa kolam luas yang menyambung dengan "padang rumput", serta panorama gunung lawu. Sangat kontemplatif dengan suasana. Gw ngebayangin kalo di tengah stress kita kerja, pergi ke area tersebut, menenangkan diri. Suasana yang luar biasa.
Atap kaca di bangunan kantor administratif, memberikan cahaya yang cukup bagi ruangan di dalamnya, sekaligus kompensasi penghangat akibat begitu mengalirnya udara gunung ke seluruh ruangan. Alasan itu juga yang mencegah penggunaan plafond supaya sistem penghawaan alami ini bisa berjalan natural.
Dari sebuah kombinasi 3 unsur, air-vegetasi-dan batu, dua bangunan tersebut bisa blend-sepenuhnya dengan aspek alamiah yang ingin dicapai dari atmosfer lingkungan. Juga antara mengaburkan batas ruang luar dan ruang dalam sebagai bentuk eksploitasi alam dalam prinsip arsitektur juga menjadikan kesatuan utuh antara first nature dan second nature-nya Hegel. Tanpa harus tampil dengan bentuk atau form bangunan yang kompleks, tapi dengan detail-detail rapi serta pemainan juxtaposisi 3 unsur tersebut, Andra Matin berhasil menghadirkan impresi yang kuat dari kesan alamiah bangunan. Serta unsur "pengalaman" ruang yang ada di bangunan (terutama kantor administrasi) menjadikan objek arsitektur ini sangat kuat kesannya bagi kita yang ber-ekskursi di sana. Atau menjelaskan keseimbangan yang ada di bangunan kantor manajerial, antara sisi ketenangan kolam dan keseimbangan "zen garden". Fungsi alamiah memang bisa bersanding dengan lingkungan buatan dalam kapasitas hubungan timbal balik secara seimbang, baik visual maupun sistemnya. Bangunan ini seolah menjadi bangunan yang menyatu dengan lingkungannya tanpa kehilangan karakternya.
Permainan juxtaposisi 3 unsur alam, berupa air, vegetasi dan batuan pada sisi selatan kantor administrasi. Didukung juga dengan permainan detail yang rapi dari Andra Matin.
Di bagian belakang rumah, masih dengan tema kombinasi dan juxtaposisi 3 unsur itu, secara selaras menciptakan vista yang indah dan kontemplatif bagi karyawan kantor ini. Dominasi penggunaan kayu yang berwarna coklat tua juga memberikan impresi etnis ala imej bangunan yang sering muncul dalam coffee-table books tentang arsitektur Indonesia.
Klimaks dari lorong, bagian belakang menunjukkan satu kontinuitas ruang dari alam artifisial ke alam natural (berlanjut dari edgeless pool, ke padang rumput), yang terus menyambung sampai ke panorama gunung Lawu sebagai latar yang sempurna.
Ekskursi diakhiri bersamaan dengan redanya hujan, yang mengharuskan kita kembali ke Solo. Gw inget pengalaman ekskursi terakhir ke Masjid Al Akbar, yang bisa dibilang kontras dari salah satu segi (lihat postingan gw sebelumnya). Bangunan Andra Matin hadir dengan konsep low profile-nya atas alam, sementara masjid terbesar di Asia Tenggara tersebut dibangun sebagai simbol penaklukan manusia atas alam (dalam arti kiasan). Keduanya memiliki sisi-sisi kekuatan dan kelemahan tersendiri untuk memesona apresiator-nya. Jika yang satu hadir dalam sekala perbandingan minor, dari objek untuk melihat alam yang lebih besar, satunya lagi hadir untuk memperlihatkan objek dalam skala alam yang lebih besar. Tetapi keduanya membuat perbandingan menarik antara mikro kosmos dengan makro kosmos-nya.
Peserta Studi Ekskursi, ki-ka: gw, Sofy, Rafael, staf Java Plant, bu Nunuk, Jati, bu Ummul dan Heru, minus Purwo (fotografer gambar ini) dan juga Alfian. (photograph courtsey of Purwo Prasetyo)
* Thanks to staf Java Plant yang udah ngasi ijin, serta bu Nunuk atas akomodasi kendaraan-nya. All photographs courtsey of Hilman Taofani, the blog-author, except the last photograph.